PERPUSTAKAAN KONVENSIONAL, DIGITAL DAN HIBRIDA
A. Perpustakaan
Konvensional
Ketika membincangkan perpustakaan konvensional (perpustakaan berbahan
kertas dan tinta), tentu kita tidak pernah bisa melepaskan unsur tempat karena
eksistensi perpustakan konvensional ditandai dengan tempat. Dalam suatu batasan perpustakaan, adalah ruangan, ataupun bagian sebuah
gedung atau gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan
lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan
pembaca bukan untuk dijual (Sulistyo-Basuki, 1991: 3). Dari batasan ini saja sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa aspek tempat
menjadi utama karena sebuah perpustakan didefiniskan sebagai ruangan atau
gedung yang koleksinya terdiri atas bahan tercetak.
Maka tak jarang ditemui gedung perpustakaan sangat besar karena perancang
dan pengelolanya berpikir bahwa koleksi buku akan bertambah sekian persen dari
koleksi yang sudah ada. Asumsi ini tidak salah, sebab bisa jadi ke depan buku
akan semakin banyak jumlahnya, dan pasti akan membutuhkan perluasan tempat.
Kendati demikian, tidak ada salahnya pengelola dan perancang gedung
perpustakaan harus memikirkan kemungkinan lain bahwa perkembangan teknologi
seperti sekarang jauh lebih maju dari yang diprediksi sebelumnya. Dahulu, orang
tidak mengira bahwa media penyimpan data yang secara fisik sebesar setengah
dari buplen mampu menyimpan data yang begitu besar. Dan media penyimpan itu
sudah menjadi kebutuhan bagi setiap mahasiswa dewasa ini. Tak jarang mereka
punya banyak informasi yang begitu beragam mengenai banyak subyek yang hanya
disimpan dalam sekeping flasdisk kecil.
Dahulu pula orang terheran-heran dan kagum melihat koleksi perpustakan yang
rak-raknya dipenuhi oleh Encyclopedia Americana atau Britanica.
Sehingga koleksi ini pula sering dijadikan ukuran hebat tidaknya sebuah
perpustakaan berdasar pada punya tidaknya Encyclopedia Americana atau Britanica.
Dalam konteks dahulu, tentu tidak berlebihan karena edisi cetak
ensiklopedia ini memang mengagumkan dengan selalu meng up date data yang
ada di dalamnya. Bahkan untuk karya ensiklopedi tercetak, maka ensiklopedia di
atas selalu berada di depan dibanding ensiklopedi sejenis lainnya.
Namun ketika media penyimpanan tidak mengandalkan cetakan satu-satunya cara
menyimpan informasi, maka kedua ensiklopedia di atas terasa kurang memberi
informasi yang sempurna karena hanya menyediakan narasi dan gambar mati saja.
Sebagai
perbandingan, berikut ini bisa dilihat keunggulan ensiklopedia berbahan cetakan
dan ensiklopedi noncetak.
Ukuran
|
Cetak
|
Noncetak
|
Media
|
Kertas
|
Keping CD, Hard Disk, digital
|
Volume
|
Besar
|
Minim
|
Harga
|
Mahal
|
Terjankau
|
Tampilan
|
Visual
|
Audio Visual
|
Isi (content)
|
Besar
|
Sangat besar
|
Up date
|
Cetak ulang
|
Up date cepat
|
Akses Informasi
|
Lewat indeks, Terbatas oleh tempat dan waktu, serta
tidak bisa dipakai secara bersamaan.
|
Mudah, tidak terkendala tempat dan
waktu sebab tersedia dalam online, dan dapat diakses banyak pemakai pada saat
yang bersamaan Langsung
|
B. Perpustakaan Digital
Konsep perpustakaan digital,
perpustakan elektronik ataupun perpustakaan hibrida sering dianggap sama atau
sinonim. Artinya bila menyebut satu
istilah di atas maka istilah itu megacu pada perpustakaan yang sama. Namun
sekarang, konsep perpustakaan digital lebih sering didengar dari istilah
lainnya, karena kebanyakan orang berharap ada kemajuan besar dalam dunia
perpustakaan..
Makna yang lebih luas, yaitu bahwa perpustakaan digital menyediakan sumber-sumber
digital disamping pegawai dengan tatakerja dan tujuan kerja serta masyarakat
yang diharapkan dapat memanfaatkan layanan perpustakaan.
Selanjutnya Tedd dan Large, seperti dikutip Pendit
(2007:30), menyebut ada tiga karakter untuk menyebut perpustakaan sebagai
perpustakaan digital yaitu:
1) Memakai
teknologi yang mengintegrasiakan kemampuan menciptakan, mencari, dan
menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dalam sebuah jaringan digital yang
tersebar luas.
2) Memiliki
koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data,
baik di lingkungan internal maupun eksternal.
3) Merupakan
kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya jasa untuk memenuhi kebutuhan
informasi masyarakat tersebut karenanya pepustakaan digital merupakan integrasi
institusi museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola,
merawat dan menyedikan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.
Karakter terakhir yang menyebut
integrasi berbagai lembaga informasi untuk melayani berbagai masyarakat,
merupakan salah satu gambaran paling dicitakan dalam konsep perpustakaan digital.
Dari sisi teknologi, maka yang menjadi perhatian utama adalah adanya integrasi
dan keterkaitan antar berbagai jenis format data dalam jumlah yang
sangat besar; disimpan dan disebarluaskan melalui jaringan telematika yang
bersifat global.
Mengacu kasus yang terjadi di Amerika, jelas bahwa
upaya digitalisasi koleksi (membuat perpustakaan digital) bukan persoalan yang
mudah. Perlu dana yang sangat besar
disamping didukung kebijakan pemerintah yang kuat. Bisa dibayangkan kalau
seandainya semua koleksi yang ada di perpustakaan didigitalkan. Berapa banyak
tenaga, dana dan waktu untuk merealisasikan program tersebut. Dan itulah ambisi
Amerika sebagai negara terdepan dalam mengembangkan teknologi informasi.
Hebatnya negara maju yang mengandalkan informasi sebagai salah satu andalan
komoditas ekspor, mempunyai kebijakan yang betul–betul komprehensif. Artinya
bahwa pemerintah sepenuh hati berupaya mewujudkan perpustakaan digital. Ada
tiga departemen besar dalam pemerintahan menyatu padu dalam berupaya
merealisasikan cita-cita tersebut. Dalam waktu yang tidak lama, barangkali
Amerika Serikatlah yang berhasil mewujudkan perpustakan digital yang diimpikan
oleh banyak orang.
C. Perpustakaan Hibrida
Sebelum banyak ahli membincangkan perpustakaan
digital, sesungguhnya mereka sudah mewacanakan perpustakaan hibrida. Istilah perpustakaan hibrida (Hybrid library) pertama kali
dikemukakan oleh Chris Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di
D-Lib Magazine pada tahun 1998. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu perpustakaan yang koleksinya terdiri
atas bahan cetak dan bahan noncetak. Perpustakaan hibrida adalah campuran
bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah, dan juga bahan-bahan berupa jurnal
elektronik, e-book dan sebagainya.
Perpustakaan hibrida merupakan continuum antara
perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital, dimana informasi yang
dikemas dalam media elektronik maupun cetak digunakan secara bersamaan.
Tantangan pengelola perpustakaan hibrida adalah mendorong pemakai untuk
menemukan informasi dalam berbagai format.
Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian guna
mewujudkan perpustakaan digital. D-lib Magazine edisi Oktober 1998 mencatat,
setidaknya ada lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan impiannya
menciptakan perpustakaan hibrida. Yang membedakan
perpustakaan digital dangan hibrida adalah:
Pertama, hibrida
masih memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi
digitalnya, dimana perpustakaan digital berusaha ingin mengubah semua
koleksinya ke dalam bentuk digital.
Kedua,
perpustakan hibrida memperluas konsep cakupan jasa informasi sehingga perubahan
koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak
dipisahkan dari yang berbasis tercetak.
Konsep perpustakaan hibrida sangat
jelas yaitu mempertahankan keberadaan perpustakaan tercetak dengan alasan bahwa
pemakai masih saja memerlukan koleksi tercetak untuk memenuhi keperluan mereka.
Tetap saja buku tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk
itulah koleksi tercetak harus tetap dipertahankan.
DIGITALISASI
PERPUSTAKAAN
Digitalisasi ini dimaksudkan untuk mencoba mengatasi persoalan siswa
yang mengalami keterbatasan akses informasi dalam menyelesaikan tugasnya. Bila koleksi perpustakaan berformat digital
tentu tidak ada persoalan bagi siswa dalam mengakses informasi yang
dibutuhkan. Sejumlah berapapun dan dari manapun siswa berasal, kepentingan
akses mereka terhadap suatu informasi akan mudah diakomodasi oleh koleksi
digital.
Siswapun tidak harus datang ke perpustakaan secara fisik, karena mereka
bisa saja membuka dengan fasilitas klik dengan
menggunakan lap topnya. Merekapun sangat leluasa dalam mengakses karena
perpustakaan digital tidak membatasi waktu akses. Dalam 24 jam perpustakaan
digital siap melayani penggunanya tanpa lelah.
A. Implementasi
perpustakan digital
Digitalisasi bahan perpustakaan bisa berupa buku, naskah kuno, peta, foto
lukisan dan sebagainya. Digitalisasi bahan-bahan ini dimaksudkan untuk
melestarikan informasi yang ada dalam bahan-bahan tersebut. Digitalisasi bahan
tercetak seperti buku, majalah ataupun hasil penelitian bisa dilakukan dengan
menindai atau menscan. Demikian halnya bahan lainnya seperti peta dan naskah
kuno. Untuk karya seperti patung, digitalisasi dilakukan dengan memotret dulu
menggunakan kamera digital sehingga nantinya menjadi bahan digital. Cara ini
memungkinkan patung dilihat dari banyak sisi.
B. Perlindungan HAKI (Hak Atas
Kekayaan Intelektual) terhadap Perpustakaan Digital
Hak kekayaan
intelektual atau sering disingkat HKI atau akronim HAKI adalah padanan kata
Intellectual Property Right, yakni hak yang timbul dari olah pikir manusia
untuk menghasilkan suatu karya yang bisa memberi kemanfaatan kepada masyarakat
banyak.
Pada hakekatnya HAKI merupakan hak untuk menikmati
secara ekonomi dari suatu kreativitas intelektual. Obyek yang diatur dalam HAKI
adalah karya-karya yang lahir dari kekayaan intelektual manusia. Secara garis
besar, HAKI itu dibagi dua yaitu: Hak cipta (copyright) dan Hak kekayaan
industri (Industrial property right). Namun dalam konteks perpustakaan digital,
perlu sedikit uraian mengenai hak cipta sebagi perangkat hukum agar tidak
menyalahi terhadap kaidah hukum positif yang sudah ada.
Hak cipta ini meliputi bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang
mencakup:
- Buku, program komputer,
pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua
hasil karya tulis lain;
- Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang
sejenis dengan itu;
- Alat peraga yang dibuat
untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
- Lagu atau musik dengan atau
tanpa teks;
- Drama atau drama musical,
tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
- Seni rupa dalam segala
bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,
seni patung, kolase dan seni terapan;
- Arsitektur;
- Peta;
- Seni batik
- Fotografi;
- Sinematografi
- Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain yang dari hasil pengalihwujudan.(UU No 19/2002 pasal 12).
DIMANA POSISI KITA
Melihat profil
perpustakaan sekolah di tanah air, sepertinya belum ada satupun yang
berani mengatakan menjadi pioner (pioneer) dalam mengembangkan perpustakaan
digital untuk keseluruhan koleksinya. Alasannya sangat logis bahwa terlalu
tinggi cost (biaya) yang dibutuhkan untuk itu.
Perpustakaan sekolah sangat menyadari bahwa koleksi tercetak berkembang pesat, bisa dibayangkan berapa luas gedung
yang harus disediakan untuk menampung. Dalam sepuluh tahun
ke depan, barangkali gedung perpustakaan penuh sesak dengan koleksi .
Dari sini
nampak jelas bahwa kita sangat menginginkan untuk merealisasikan suatu perpustakaan
digital secara komprehensif. Tapi pilihan itu jadi berat karena biaya yang
sangat tinggi untuk mewujudkannya. Melihat hal ini maka langkah yang paling
rasional adalah menjelmakan perpustakaan kita dalam bentuk perpustakaan
hibrida, dimana koleksi tercetak, elektronik dan digital menyatu. Adalah suatu
fakta yang tak terbantahkan bahwa pemakai perpustakaan di negara maju sekalipun
tetap menggunakan bahan tercetak sebagai andalan koleksinya, karena tak
selamanya pemakai bisa membaca secara nyaman di depan layar komputer. Apakah
pemakai perpustakaan mampu membaca habis novel karya Dan Brown dalam Da Vinci
Code di depan layar komputer? Apakah pemakai juga mampu membaca habis Harry
Potter di depan layar komputer?
Dua contoh di atas membuktikan
bahwa kita belum bisa meninggalkan perpustatakaan berbasis kertas dan tinta.
Tapi kita mampu mengombinasikan bahan koleksi perpustakaan dengan bahan
berbasis kertas dan tinta, elektronik dan tentu juga bahan digital.
PENUTUP
Setiap ada
temuan baru dalam bidang apapun pasti akan mengundang suara sepakat dan tidak
sepakat (pro & kontra). Tapi seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya
orang bisa menerima juga. Tergantung sejauh mana kemanfaatannya. Kehadiran
internet umpamanya, dulu orang begitu kawatir terhadap akibat yang ditimbulkan.
Salah satu alasannya adalah bahwa internet banyak mengakomodasi situs-situs
porno. Ternyata kekhawatiran itu kurang beralasan sebab internet juga
menyajikan banyak kebaikan dalam bidang ilmiah maupun bidang sosial.
Itu artinya
memang inernet mempunyai dua muka yang berbeda, tinggal muka mana yang akan
dipilih. Ibarat pisau, bisa digunakan untuk memotong sayur, tapi bisa juga
digunakan untuk memotong nadi sebagai cara bunuh diri.
Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai sumber informasi tentang jenis perpustakaan. Terima Kasih.
BIBLIOGRAFI
Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Suryandari,
Ari. (2007). Aspek manajemen perpustakaan digital dalam Pendit, Putu Laxman, Et
al. (2007) Perpustakaan digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi
Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.
UU HAKI: Hak Atas Kekayaan Itelektual. (2003), Jakarta: Sinar Grafika.
Komentar
Posting Komentar